Jumat, 19 September 2008
Arum sabil mendobrak belenggu petani tebu
Buku berjudul Arum sabil mendobrak belenggu petani tebu ditulis oleh Winardi nawa putra; kun wazis. dan abdul rohman. Nimati sajian tentang pergaulaan dalam blok ini
Langganan:
Postingan (Atom)
Apa Kata Deputi BUMN Agus Pakpahan?
Transformasi dan Evolusi
Agus Pakpahan
Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik 2003), petani yang memiliki tanah di Indonesia jumlahnya sekitar 22 juta orang dari 40,6 juta orang total angkatan kerja yang bekerja di pertanian. Kalau dalam setiap satu rumah tangga petani pemilik tanah ini terdiri atas lima orang, maka jumlah orang yang berada dalam kelompok rumah tangga petani ini adalah 110 juta orang. Jumlah ini hampir 52% dari seluruh penduduk Indonesia. Satu orang di antara petani tersebut adalah Arum Sabil.
Arum Sabil adalah petani tebu. Ia merupakan bagian dari 22 juta orang petani pemilik lahan dan bagian dari sekian juta orang yang menggantungkan kehidupannya dari tebu. Hasil tebu mereka masuk ke pabrik-pabrik gula, diolah dan menghasilkan gula, tetes, dan lain-lain. Produk yang dapat dihasilkan dari tebu ini lebih dari 64 jenis produk, mulai dari produk pangan, industri, hingga kesehatan. Namun demikian, di Indonesia tebu ini sebagian besar baru diolah untuk menjadi gula. Hasil lainnya belum berkembang, bahkan keadaan industri gula kita sekarang ini. Walaupun potensi yang kita miliki besar, tapi masih berada dalam situasi yang memprihatinkan.
Rasa manis dan energi dari secangkir teh atau kopi serta kue-kue yang kita nikmati setiap hari, pada awalnya berasal dari tebu yang ditanam para petani. Sambil menikmati kopi manis, pernahkah kita membayangkan apa yang dikerjakan oleh para petani tebu di kebun-kebun mereka? Pernahkah kita merasakan sengatan matahari yang membakar tubuh mereka? Pernahkah kita merasakan gatalnya tubuh akibat gesekan daun-daun tebu dengan kulit kita? Sebelum gula sampai di pabrik, dan kemudian bereaksi dalam cangkir kopi yang siap kita nikmati, ia telah menempuh proses yang sangat panjang dan melelahkan. Saya pernah mengajak seorang kawan yang berasal dari Denmark ke kebun teh di Gunung Mas, Bogor. Ia saya ajak mengamati seluruh proses sebelum teh itu siap untuk dihirup. Ia melihat sendiri bagaimana buruh pemetik teh bekerja mulai pagi hari ketika baru saja mata hari terbit menyingsing. Ia perhatikan bagaimana buruh-buruh itu bekerja. Ia merasakan bagaimana perjalanan teh itu mulai dari kebun hingga ke secangkir teh yang siap untuk ia nikmati, dalam udara sejuk yang menyenangkan. Akhirnya ia berkata: ”Setelah saya melihat sendiri bagaimana mereka bekerja keras untuk kesenangan kita, mestinya kita membayar mereka lebih baik lagi”. Memang pada kenyataannya konsumen di negara-negara maju membayar produk pertanian hasil olahan seperti teh dan kopi dengan harga terus meningkat, tetapi kenaikan harga yang dibayar konsumen tersebut tidak sampai ke petani di negara-negara berkembang.
Inti dari cerita di atas adalah, saya ingin menyampaikan bahwa apa yang dikerjakan oleh Arum Sabil dan para petani lainnya adalah bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi untuk kita semua. Persoalannya adalah kesejahteraan para petani terus menurun. Harga-harga dari produk yang mereka hasilkan terus menurun sehingga mereka tidak dapat lagi menjalankan usahanya dengan lebih baik. Persoalan ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Perbedaannya, kalau petani di negara-negara maju kehidupannya disubsidi pemerintahnya. Di negara-negara berkembang petani disuruh mempertahankan nasibnya sendiri-sendiri.
Dalam batas-batas tertentu nasib kita memang tergantung dari usaha masing-masing pribadi. Bagi yang mau bekerja keras, ia akan menikmati hasil kerja kerasnya itu. Bagi yang malas, ia akan menikmati hasil dari malasnya itu. Namun, persoalan akan menjadi lebih kompleks apabila di satu pihak petani yang jutaan jumlahnya bekerja sendiri-sendiri. Sedangkan di pihak lain berkolusi, berorganisasi, atau bahkan selalu dimenangkan oleh kebijaksanaan suatu pemerintahan. Jadi, petani sebagai individu-individu berhadapan dengan suatu sistem yang menekannya. Sudah dapat dipastikan petani akan menderita selamanya. Mudah-mudahan itu tidak terjadi di negeri kita pada waktu yang akan datang.
Untuk mencari bahan refleksi diri kita bisa membayangkan apa yang terjadi di negara-negara maju seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, atau Jepang. Negara-negara maju menjalankan sistem politiknya atas dasar nilai-nilai demokrasi. Dalam sistem demokrasi kekuasaan yang diamanahkan kepada negara berasal dari suara rakyat. Dalam prakteknya, mereka melakukan pemungutan suara. Jumlah suara mayoritas akan menentukan dasar-dasar kebijaksanaan yang dijalankan oleh pemerintah, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, dan lembaga-lembaga lainnya. Perlu kita ingat bahwa jumlah petani di negara-negara maju berkisar antara 2% - 5% saja. Artinya, suara petani tidak sebanyak jika dibandingkan dengan suara rakyat secara keseluruhan. Pertanyaannya, mengapa pada posisi jumlah suara yang kecil tersebut petani mendapatkan perhatian yang semestinya relatif terhadap petani di negara-negara berkembang yang jumlahnya banyak. Untuk Indonesia, jumlah orang dalam keluarga petani yang memiliki tanah saja sudah sekitar 52% dari jumlah keseluruhan penduduk kita. Tetapi mengapa petani tidak mendapatkan perhatian yang semestinya dalam sistem ekonomi-politik kita?
Kondisi perekonomian kita dewasa ini berada dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Kenaikan harga BBM akhir-akhir ini buat saya bukan sekadar akibat pencabutan subsidi, tetapi lebih menunjukkan bahwa kita menghadapi kelangkaan energi yang lebih nyata dibandingkan masa-masa sebelumnya. Selanjutnya, pertumbuhan produktivitas pertanian yang sangat rendah atau bahkan negatif memberikan pertanda bahwa bahaya besar akan datang mengancam. Informasi berikut ini dapat memberikan bayangan betapa besar tantangan kita di hari-hari mendatang.
Sejak tahun 1990-an, pertumbuhan produksi dan pertumbuhan produktivitas pertanian Indonesia mengalami penurunan yang berarti. Pertumbuhan produksi pertanian turun dari 4,0% per tahun (1968-1992) menjadi 1,0 % per tahun (1993-2000). Pada periode yang sama Indonesia mengalami pertumbuhan produksi beras per tahun turun dari 5,5% menjadi 0,7%. Lebih mengkhawatirkan lagi kalau dilihat dari parameter Total Factor Productivity (TFP), yaitu dalam periode di atas nilai pertumbuhan per tahun TFP pertanian turun dari 2,6% menjadi –0,1%. Sedangkan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja dan lahan masing-masing turun dari 2,9% menjadi 0,1%, dan 2,4% menjadi –0,9% per tahun. Sehubungan dengan ini pertumbuhan produktivitas output tanaman pangan per jumlah penduduk dan pertumbuhan produktivitas padi per jumlah penduduk masing-masing turun dari 4,0% menjadi –0,4%, dan dari 3,7% menjadi –0,3% (Fuglie, 2004).
Apa yang akan kita capai pada tahun 2035, misalnya, kalau kita mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi 5% per tahun? Dengan menggunakan basis data tahun 2002, kita hanya akan mencapai tingkat pendapatan per kapita yang sama dengan pendapatan per kapita Malaysia pada tahun 2002. Apa ini artinya? Arti yang paling penting adalah bahwa struktur perekonomian kita pada tahun 2035 masih bersifat agraris. Tidak mungkin kita bisa mencapai tahap negara industri pada tahun 2035 nanti. Apalagi dengan beratnya persoalan negara kita sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini. Karena itu, kita tidak punya banyak pilihan kecuali membangun pertanian secara sungguh-sungguh.
Saya mengemukakan semua di atas untuk mengajak pembaca sampai pada pertanyaan; apa yang paling penting dalam menghadapi masalah besar seperti yang digambarkan di atas?
Sangatlah jelas bahwa pertanian penting tetapi pertanian tidak bisa berjalan sendiri tanpa peran manusia. Manusia jelas sangat menentukan, tetapi manusia itu sendiri tidaklah cukup memberikan penjelasan. Petani, juga sangatlah penting, mengingat memang pertanian adalah bidang kerja petani. Sekarang, mari kita jawab pertanyaan; apa yang membedakan keberadaan petani tebu sebelum tahun 2000 dengan petani tebu sekarang?
Konon, petani tebu sudah ada sejak jaman Ajisaka, kurang lebih tahun 75 Masehi. Industri gula sudah ada di Jawa sebelum Portugis berhasil merebut Malaka. Industri gula di Jawa juga sudah berjaya, tetapi itu pada jaman Belanda. Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) sudah dilahirkan sejak lama. Singkatnya, semua sudah ada kecuali satu hal yang baru; organisasi petani tebu. Sekarang kita mengenal dua kelompok besar organisasi petani tebu yakni, Badan Koordinasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (BKAPTRI) dan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI).
Pembentukan suatu organisasi, apalagi organisasi petani, bukanlah hal yang mudah. Ini merupakan investasi yang sangat kompleks dan sangat mahal relatif terhadap sumber daya yang dimiliki para petani. Investasi dalam bidang institusi karakternya sangat berbeda dengan investasi dalam bidang fisik. Investasi dalam bidang fisik, misalnya jembatan, asal ada ahli dan dananya maka jalan segera akan terwujud. Bahkan banyak kontraktor yang akan datang untuk melamar pekerjaan membangun jalan tersebut. Membangun institusi petani? Kita tidak dapat menyerahkannya kepada kontraktor, sekalipun ia kontraktor asing. Membangun institusi adalah membangun saling hubungan antarmanusia yang memiliki jiwa, tujuan, dan cita-cita bersama. Hal ini tidaklah mudah mengingat banyaknya kepentingan yang saling berhadapan. Baik yang berasal dari dalam maupun yang bersumber dari luar. Bahkan tidak jarang digunakan cara-cara yang tidak bermoral untuk menjatuhkan atau menggagalkan suatu investasi di bidang institusi, sebagaimana hal tersebut menjadi salah satu kisah yang pernah dialami Arum Sabil. Karena itu, berdirinya APTRI dan BKAPTRI merupakan sumbangan yang sangat besar bagi Indonesia yang diciptakan sendiri oleh para petani tebu.
Dalam setiap penciptaan suatu institusi dapat dipastikan bahwa dalam proses tersebut terdapat sejumlah orang yang menjadi pelopor dari pembentukan institusi tersebut. Tanpa ada jiwa kepeloporan, suatu institusi tidak akan pernah terwujud. Apabila sejak awal yang dipikirkan adalah keuntungan pribadi, maka suatu institusi tidak akan pernah terwujud, atau kalaupun terwujud ia akan sangat cepat layu sebelum berkembang.
Dalam proses penciptaan awal inilah energi yang diperlukan sangat besar karena dalam tahap tersebut terjadi proses untuk mewujudkan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Dalam kelompok pelopor ini terdapat seorang anak manusia yang bernama Arum Sabil.
Arum Sabil terpilih sebagai Ketua APTRI. Saya masih ingat ketika Arum Sabil berkata: ”Saya ini sebagai ketua, bukan kepala APTRI. Artinya, semua keputusan penting haruslah merupakan keputusan anggota”. Ini merupakan suatu pikiran yang bijaksana, yang mengingatkan kita semua terhadap prinsip demokrasi. Atas dasar kerangka pikiran itulah Arum Sabil mengelola APTRI sehingga menjadi organisasi petani yang mendapatkan banyak perhatian dari berbagai kalangan dan memberikan dampak positif bagi anggotanya.
Arum Sabil adalah seorang pemberani tetapi penuh perhitungan. Ia berani mengambil sikap dan langkah-langkah untuk mencari jalan bagaimana agar harga gula yang diterima petani tebu merupakan harga yang wajar. Dana talangan dari pemerintah menjadi prioritas nomor dua mengingat kemampuan pemerintah terbatas untuk membiayai dana talangan ini. Petani tebu menyadari bahwa pemerintah bukan hanya milik petani tebu, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia. Masih banyak petani lain yang nasibnya juga menderita. Karena itu Arum Sabil dan kawan-kawan dari APTRI mencari jalan lain.
Saya mengikuti sebagian proses pencarian jalan tersebut sehingga bisa sedikit bercerita tentang kesan saya akan apa yang dikerjakan Arum Sabil. Dengan tujuan utama mencari harga gula yang lebih baik dan juga lebih pasti, maka Arum Sabil melakukan pendekatan dengan pedagang-pedagang gula. Proses ini dilakukannya secara terbuka. Semua pedagang gula diundang untuk membahas gagasan kerjasama antara petani tebu dan pedagang gula. Saya menyaksikan prosesnya sangat panjang dan melelahkan, mengingat hal seperti ini belum pernah ada sebelumnya.
Petani dengan konsepnya dan para pedagang gula dengan pikirannya “diadu” dalam suatu kesempatan yang terbuka. Saya sempat mendengar keluhan pedagang: ”Kita ini datang untuk membeli gula bukan untuk rapat”. Ada juga yang berkomentar: ”Susah amat sih sekarang ini, mau beli gula saja harus ada kerjasama dana talangan”. Dari kalangan pejabat juga banyak komentar. Juga dari kalangan legislatif, banyak komentar. Pers juga tidak ketinggalan untuk menyuarakan berbagai tanggapan. Mulai dari yang setuju, hingga banyak yang tidak setuju. Ada yang alasannya bahwa mereka tidak setuju karena apa yang akan dikerjakan akan menciptakan monopoli atau kartel. Suasana kecurigaan sangat pekat. Perjalanan ini saya melihat merupakan perjalanan yang bukan hanya melelahkan tetapi juga mengundang konflik. Dasarnya adalah rasa saling curiga dan juga politik dagang untuk mempertahankan rezeki.
Akhir dari cerita di atas adalah terbentuknya kerjasama antara APTRI dengan PT. AGS pada tahun 2001. Sistem ini berupa pemberian dana talangan kepada para petani oleh PT. AGS dan PT. AGS mendapatkan insentif dari kerjasama tersebut. Sistem inilah yang menjadi cikal-bakal pola pemasaran gula sebagaimana yang berlaku sekarang. Liku-liku perjalanan untuk mencapai sistem pemasaran gula ini cukup panjang. Kita bisa melihat sebagian ceritanya dalam buku ini. Yang ingin saya tuliskan dalam buku ini adalah suatu kesimpulan bahwa peran seorang pemimpin akan sangat menentukan perjalanan untuk mencapai sebuah cita-cita organisasi. Arum Sabil, diukur oleh apa yang telah dicapai APTRI pada saat mereka menghadapi krisis pergulaan akhir-akhir ini merupakan sosok yang berhasil.
Pembaca dapat menilai sendiri apa yang menyatu dalam diri Arum Sabil dengan membaca buku ini. Mulai dari kisah masa kecilnya, apa yang ia kerjakan di Tanggul, Jember, hingga unjuk rasa di Jakarta. Apa yang saya sampaikan di atas hanyalah sekelumit kisah Arum Sabil yang saya nilai fenomenal.
Melalui sumber-sumber bacaan yang tersedia, saya mengenal sosok Aldrich Bloomquist. Ia adalah ketua asosiasi petani gula bit di wilayah North Dakota dan Minnessota, Amerika Serikat. Pada tahun 1972, kondisi industri gula di wilayah itu terguncang akibat bangkrutnya American Crystal Sugar Company (ACSC). ACSC adalah salah satu perusahaan gula terbesar di AS pada masa itu. Perusahaan ini terdaftar di New York Stock Exchange. Bangkrutnya perusahaan ini mengancam kehidupan para petani gula bit di wilayah ini. Bloomquist berpikir keras untuk menjawab satu pertanyaan: ”Bagaimana menyelamatkan industri gula bit yang menjadi sumber kehidupan masyarakat di wilayah itu sejak lama?”. Ia mendiskusikannya dengan anggota-anggotanya. Akhirnya, sampai pada keputusan, karena tidak ada alternatif lain yang bisa menolong nasib masyarakat setempat, yang lebih baik daripada yang diberikan oleh industri gula, maka mereka memutuskan untuk membeli ACSC. Sebanyak 1.300 petani gula bit berkumpul, bersepakat dan akhirnya, dengan dibantu pihak lembaga keuangan, akhirnya 1.300 petani membeli pabrik gula tersebut dengan harga US$ 86 juta atau rata-rata per petani berpartisipasi US$ 66154. Segera setelah diambil alih, kondisi perusahaan berubah, bukan bangkrut tetapi berkembang pesat. Sekarang, pemilik perusahaan ini jumlahnya lebih dari 3.000 orang petani gula bit. Produksi gulanya 2 juta ton per tahun. Perusahaan ini juga telah berkembang pesat bukan hanya menghasilkan gula, tetapi juga menghasilkan produk turunan lainnya. Gagasan para petani bit ini kemudian melahirkan konsep yang dikenal dengan New Generation Cooperative. Universitas North Dakota memberikan penghargaan kepada Al Bloomquist, di universitas ini dilembagakan Al Bloomquist Lecture.
Saya membayangkan, apa yang terjadi di North Dakota terulang di Indonesia, salah satunya di Jawa Timur. Saya membayangkan kalau ada 10.000 petani berkumpul, kemudian masing-masing share Rp 100 juta (kurang lebih US$ 11000) maka akan terkumpul dana Rp 1.000.000.000.000. Dana ini digunakan untuk merevitalisasi satu atau dua pabrik gula, menjadi pabrik gula yang bagus, sesuai dengan standar yang semestinya. Lembaga perbankan mendukungnya, juga lembaga lembaga lainnya. Kalau ini dimulai sekarang, tahun 2005 dan prosesnya selesai 2006, maka kita sudah akan membangun landasan baru untuk menghadapi tantangan yang akan kita hadapi pada masa-masa mendatang. Kalau ini dikerjakan, mudah-mudahan pada tahun 2035 pendapatan per kapita masyarakat di Jawa Timur lebih baik daripada apa yang saya proyeksikan di atas. Harapan kita semua Arum Sabil beserta seluruh anggota APTRI segera dapat mengambil tantangan ini. Pada tahun 2035, kalau saya belum dipanggil ke Rahmatullah, saya akan berusia 79 tahun. Arum Sabil pada saat itu baru berusia 60 tahunan, masih muda. Kemudian kita bisa datang setiap tahun ke Universitas Negeri Jember atau Universitas Brawijaya, atau ke universitas lainnya, mendengarkan “Arum Sabil Lecture” yang disampaikan oleh para ilmuwan, tokoh, pemimpin bukan hanya yang datang dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Inilah makna dari revitalisasi yang harus segera kita mulai.
Impian di atas bukanlah hal yang tidak mungkin. Kita sudah berhasil melewati satu masa krisis pergulaan pada 1998-2000; sekarang tinggal apakah kita mampu melanjutkan inovasi baru dalam membangkitkan pergulaan ini. Kalau APTRI dapat menggalang segala potensi yang ada, semua impian di atas akan segera dapat menjadi kenyataan. Kalau ini bisa kita kerjakan maka kita bukan hanya telah memberikan manfaat bagi diri kita sendiri, tetapi juga buat generasi mendatang. Kita memerlukan organisasi dan pemimpin untuk mengerjakan dan mewujudkan impian itu. Semoga Arum Sabil dan APTRI secara keseluruhan dapat segera melakukan transformasi dan mampu merancang proses evolusi ke tahapan berikutnya.
Kita semua berharap, semoga Allah SWT selalu memberikan bimbingan, perlindungan dan penerangan kepada Arum Sabil, semua anggota APTRI dan juga kepada kita semua agar dapat segera mewujudkan masa depan yang lebih baik.
***
Agus Pakpahan
Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik 2003), petani yang memiliki tanah di Indonesia jumlahnya sekitar 22 juta orang dari 40,6 juta orang total angkatan kerja yang bekerja di pertanian. Kalau dalam setiap satu rumah tangga petani pemilik tanah ini terdiri atas lima orang, maka jumlah orang yang berada dalam kelompok rumah tangga petani ini adalah 110 juta orang. Jumlah ini hampir 52% dari seluruh penduduk Indonesia. Satu orang di antara petani tersebut adalah Arum Sabil.
Arum Sabil adalah petani tebu. Ia merupakan bagian dari 22 juta orang petani pemilik lahan dan bagian dari sekian juta orang yang menggantungkan kehidupannya dari tebu. Hasil tebu mereka masuk ke pabrik-pabrik gula, diolah dan menghasilkan gula, tetes, dan lain-lain. Produk yang dapat dihasilkan dari tebu ini lebih dari 64 jenis produk, mulai dari produk pangan, industri, hingga kesehatan. Namun demikian, di Indonesia tebu ini sebagian besar baru diolah untuk menjadi gula. Hasil lainnya belum berkembang, bahkan keadaan industri gula kita sekarang ini. Walaupun potensi yang kita miliki besar, tapi masih berada dalam situasi yang memprihatinkan.
Rasa manis dan energi dari secangkir teh atau kopi serta kue-kue yang kita nikmati setiap hari, pada awalnya berasal dari tebu yang ditanam para petani. Sambil menikmati kopi manis, pernahkah kita membayangkan apa yang dikerjakan oleh para petani tebu di kebun-kebun mereka? Pernahkah kita merasakan sengatan matahari yang membakar tubuh mereka? Pernahkah kita merasakan gatalnya tubuh akibat gesekan daun-daun tebu dengan kulit kita? Sebelum gula sampai di pabrik, dan kemudian bereaksi dalam cangkir kopi yang siap kita nikmati, ia telah menempuh proses yang sangat panjang dan melelahkan. Saya pernah mengajak seorang kawan yang berasal dari Denmark ke kebun teh di Gunung Mas, Bogor. Ia saya ajak mengamati seluruh proses sebelum teh itu siap untuk dihirup. Ia melihat sendiri bagaimana buruh pemetik teh bekerja mulai pagi hari ketika baru saja mata hari terbit menyingsing. Ia perhatikan bagaimana buruh-buruh itu bekerja. Ia merasakan bagaimana perjalanan teh itu mulai dari kebun hingga ke secangkir teh yang siap untuk ia nikmati, dalam udara sejuk yang menyenangkan. Akhirnya ia berkata: ”Setelah saya melihat sendiri bagaimana mereka bekerja keras untuk kesenangan kita, mestinya kita membayar mereka lebih baik lagi”. Memang pada kenyataannya konsumen di negara-negara maju membayar produk pertanian hasil olahan seperti teh dan kopi dengan harga terus meningkat, tetapi kenaikan harga yang dibayar konsumen tersebut tidak sampai ke petani di negara-negara berkembang.
Inti dari cerita di atas adalah, saya ingin menyampaikan bahwa apa yang dikerjakan oleh Arum Sabil dan para petani lainnya adalah bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi untuk kita semua. Persoalannya adalah kesejahteraan para petani terus menurun. Harga-harga dari produk yang mereka hasilkan terus menurun sehingga mereka tidak dapat lagi menjalankan usahanya dengan lebih baik. Persoalan ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Perbedaannya, kalau petani di negara-negara maju kehidupannya disubsidi pemerintahnya. Di negara-negara berkembang petani disuruh mempertahankan nasibnya sendiri-sendiri.
Dalam batas-batas tertentu nasib kita memang tergantung dari usaha masing-masing pribadi. Bagi yang mau bekerja keras, ia akan menikmati hasil kerja kerasnya itu. Bagi yang malas, ia akan menikmati hasil dari malasnya itu. Namun, persoalan akan menjadi lebih kompleks apabila di satu pihak petani yang jutaan jumlahnya bekerja sendiri-sendiri. Sedangkan di pihak lain berkolusi, berorganisasi, atau bahkan selalu dimenangkan oleh kebijaksanaan suatu pemerintahan. Jadi, petani sebagai individu-individu berhadapan dengan suatu sistem yang menekannya. Sudah dapat dipastikan petani akan menderita selamanya. Mudah-mudahan itu tidak terjadi di negeri kita pada waktu yang akan datang.
Untuk mencari bahan refleksi diri kita bisa membayangkan apa yang terjadi di negara-negara maju seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, atau Jepang. Negara-negara maju menjalankan sistem politiknya atas dasar nilai-nilai demokrasi. Dalam sistem demokrasi kekuasaan yang diamanahkan kepada negara berasal dari suara rakyat. Dalam prakteknya, mereka melakukan pemungutan suara. Jumlah suara mayoritas akan menentukan dasar-dasar kebijaksanaan yang dijalankan oleh pemerintah, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, dan lembaga-lembaga lainnya. Perlu kita ingat bahwa jumlah petani di negara-negara maju berkisar antara 2% - 5% saja. Artinya, suara petani tidak sebanyak jika dibandingkan dengan suara rakyat secara keseluruhan. Pertanyaannya, mengapa pada posisi jumlah suara yang kecil tersebut petani mendapatkan perhatian yang semestinya relatif terhadap petani di negara-negara berkembang yang jumlahnya banyak. Untuk Indonesia, jumlah orang dalam keluarga petani yang memiliki tanah saja sudah sekitar 52% dari jumlah keseluruhan penduduk kita. Tetapi mengapa petani tidak mendapatkan perhatian yang semestinya dalam sistem ekonomi-politik kita?
Kondisi perekonomian kita dewasa ini berada dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Kenaikan harga BBM akhir-akhir ini buat saya bukan sekadar akibat pencabutan subsidi, tetapi lebih menunjukkan bahwa kita menghadapi kelangkaan energi yang lebih nyata dibandingkan masa-masa sebelumnya. Selanjutnya, pertumbuhan produktivitas pertanian yang sangat rendah atau bahkan negatif memberikan pertanda bahwa bahaya besar akan datang mengancam. Informasi berikut ini dapat memberikan bayangan betapa besar tantangan kita di hari-hari mendatang.
Sejak tahun 1990-an, pertumbuhan produksi dan pertumbuhan produktivitas pertanian Indonesia mengalami penurunan yang berarti. Pertumbuhan produksi pertanian turun dari 4,0% per tahun (1968-1992) menjadi 1,0 % per tahun (1993-2000). Pada periode yang sama Indonesia mengalami pertumbuhan produksi beras per tahun turun dari 5,5% menjadi 0,7%. Lebih mengkhawatirkan lagi kalau dilihat dari parameter Total Factor Productivity (TFP), yaitu dalam periode di atas nilai pertumbuhan per tahun TFP pertanian turun dari 2,6% menjadi –0,1%. Sedangkan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja dan lahan masing-masing turun dari 2,9% menjadi 0,1%, dan 2,4% menjadi –0,9% per tahun. Sehubungan dengan ini pertumbuhan produktivitas output tanaman pangan per jumlah penduduk dan pertumbuhan produktivitas padi per jumlah penduduk masing-masing turun dari 4,0% menjadi –0,4%, dan dari 3,7% menjadi –0,3% (Fuglie, 2004).
Apa yang akan kita capai pada tahun 2035, misalnya, kalau kita mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi 5% per tahun? Dengan menggunakan basis data tahun 2002, kita hanya akan mencapai tingkat pendapatan per kapita yang sama dengan pendapatan per kapita Malaysia pada tahun 2002. Apa ini artinya? Arti yang paling penting adalah bahwa struktur perekonomian kita pada tahun 2035 masih bersifat agraris. Tidak mungkin kita bisa mencapai tahap negara industri pada tahun 2035 nanti. Apalagi dengan beratnya persoalan negara kita sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini. Karena itu, kita tidak punya banyak pilihan kecuali membangun pertanian secara sungguh-sungguh.
Saya mengemukakan semua di atas untuk mengajak pembaca sampai pada pertanyaan; apa yang paling penting dalam menghadapi masalah besar seperti yang digambarkan di atas?
Sangatlah jelas bahwa pertanian penting tetapi pertanian tidak bisa berjalan sendiri tanpa peran manusia. Manusia jelas sangat menentukan, tetapi manusia itu sendiri tidaklah cukup memberikan penjelasan. Petani, juga sangatlah penting, mengingat memang pertanian adalah bidang kerja petani. Sekarang, mari kita jawab pertanyaan; apa yang membedakan keberadaan petani tebu sebelum tahun 2000 dengan petani tebu sekarang?
Konon, petani tebu sudah ada sejak jaman Ajisaka, kurang lebih tahun 75 Masehi. Industri gula sudah ada di Jawa sebelum Portugis berhasil merebut Malaka. Industri gula di Jawa juga sudah berjaya, tetapi itu pada jaman Belanda. Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) sudah dilahirkan sejak lama. Singkatnya, semua sudah ada kecuali satu hal yang baru; organisasi petani tebu. Sekarang kita mengenal dua kelompok besar organisasi petani tebu yakni, Badan Koordinasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (BKAPTRI) dan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI).
Pembentukan suatu organisasi, apalagi organisasi petani, bukanlah hal yang mudah. Ini merupakan investasi yang sangat kompleks dan sangat mahal relatif terhadap sumber daya yang dimiliki para petani. Investasi dalam bidang institusi karakternya sangat berbeda dengan investasi dalam bidang fisik. Investasi dalam bidang fisik, misalnya jembatan, asal ada ahli dan dananya maka jalan segera akan terwujud. Bahkan banyak kontraktor yang akan datang untuk melamar pekerjaan membangun jalan tersebut. Membangun institusi petani? Kita tidak dapat menyerahkannya kepada kontraktor, sekalipun ia kontraktor asing. Membangun institusi adalah membangun saling hubungan antarmanusia yang memiliki jiwa, tujuan, dan cita-cita bersama. Hal ini tidaklah mudah mengingat banyaknya kepentingan yang saling berhadapan. Baik yang berasal dari dalam maupun yang bersumber dari luar. Bahkan tidak jarang digunakan cara-cara yang tidak bermoral untuk menjatuhkan atau menggagalkan suatu investasi di bidang institusi, sebagaimana hal tersebut menjadi salah satu kisah yang pernah dialami Arum Sabil. Karena itu, berdirinya APTRI dan BKAPTRI merupakan sumbangan yang sangat besar bagi Indonesia yang diciptakan sendiri oleh para petani tebu.
Dalam setiap penciptaan suatu institusi dapat dipastikan bahwa dalam proses tersebut terdapat sejumlah orang yang menjadi pelopor dari pembentukan institusi tersebut. Tanpa ada jiwa kepeloporan, suatu institusi tidak akan pernah terwujud. Apabila sejak awal yang dipikirkan adalah keuntungan pribadi, maka suatu institusi tidak akan pernah terwujud, atau kalaupun terwujud ia akan sangat cepat layu sebelum berkembang.
Dalam proses penciptaan awal inilah energi yang diperlukan sangat besar karena dalam tahap tersebut terjadi proses untuk mewujudkan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Dalam kelompok pelopor ini terdapat seorang anak manusia yang bernama Arum Sabil.
Arum Sabil terpilih sebagai Ketua APTRI. Saya masih ingat ketika Arum Sabil berkata: ”Saya ini sebagai ketua, bukan kepala APTRI. Artinya, semua keputusan penting haruslah merupakan keputusan anggota”. Ini merupakan suatu pikiran yang bijaksana, yang mengingatkan kita semua terhadap prinsip demokrasi. Atas dasar kerangka pikiran itulah Arum Sabil mengelola APTRI sehingga menjadi organisasi petani yang mendapatkan banyak perhatian dari berbagai kalangan dan memberikan dampak positif bagi anggotanya.
Arum Sabil adalah seorang pemberani tetapi penuh perhitungan. Ia berani mengambil sikap dan langkah-langkah untuk mencari jalan bagaimana agar harga gula yang diterima petani tebu merupakan harga yang wajar. Dana talangan dari pemerintah menjadi prioritas nomor dua mengingat kemampuan pemerintah terbatas untuk membiayai dana talangan ini. Petani tebu menyadari bahwa pemerintah bukan hanya milik petani tebu, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia. Masih banyak petani lain yang nasibnya juga menderita. Karena itu Arum Sabil dan kawan-kawan dari APTRI mencari jalan lain.
Saya mengikuti sebagian proses pencarian jalan tersebut sehingga bisa sedikit bercerita tentang kesan saya akan apa yang dikerjakan Arum Sabil. Dengan tujuan utama mencari harga gula yang lebih baik dan juga lebih pasti, maka Arum Sabil melakukan pendekatan dengan pedagang-pedagang gula. Proses ini dilakukannya secara terbuka. Semua pedagang gula diundang untuk membahas gagasan kerjasama antara petani tebu dan pedagang gula. Saya menyaksikan prosesnya sangat panjang dan melelahkan, mengingat hal seperti ini belum pernah ada sebelumnya.
Petani dengan konsepnya dan para pedagang gula dengan pikirannya “diadu” dalam suatu kesempatan yang terbuka. Saya sempat mendengar keluhan pedagang: ”Kita ini datang untuk membeli gula bukan untuk rapat”. Ada juga yang berkomentar: ”Susah amat sih sekarang ini, mau beli gula saja harus ada kerjasama dana talangan”. Dari kalangan pejabat juga banyak komentar. Juga dari kalangan legislatif, banyak komentar. Pers juga tidak ketinggalan untuk menyuarakan berbagai tanggapan. Mulai dari yang setuju, hingga banyak yang tidak setuju. Ada yang alasannya bahwa mereka tidak setuju karena apa yang akan dikerjakan akan menciptakan monopoli atau kartel. Suasana kecurigaan sangat pekat. Perjalanan ini saya melihat merupakan perjalanan yang bukan hanya melelahkan tetapi juga mengundang konflik. Dasarnya adalah rasa saling curiga dan juga politik dagang untuk mempertahankan rezeki.
Akhir dari cerita di atas adalah terbentuknya kerjasama antara APTRI dengan PT. AGS pada tahun 2001. Sistem ini berupa pemberian dana talangan kepada para petani oleh PT. AGS dan PT. AGS mendapatkan insentif dari kerjasama tersebut. Sistem inilah yang menjadi cikal-bakal pola pemasaran gula sebagaimana yang berlaku sekarang. Liku-liku perjalanan untuk mencapai sistem pemasaran gula ini cukup panjang. Kita bisa melihat sebagian ceritanya dalam buku ini. Yang ingin saya tuliskan dalam buku ini adalah suatu kesimpulan bahwa peran seorang pemimpin akan sangat menentukan perjalanan untuk mencapai sebuah cita-cita organisasi. Arum Sabil, diukur oleh apa yang telah dicapai APTRI pada saat mereka menghadapi krisis pergulaan akhir-akhir ini merupakan sosok yang berhasil.
Pembaca dapat menilai sendiri apa yang menyatu dalam diri Arum Sabil dengan membaca buku ini. Mulai dari kisah masa kecilnya, apa yang ia kerjakan di Tanggul, Jember, hingga unjuk rasa di Jakarta. Apa yang saya sampaikan di atas hanyalah sekelumit kisah Arum Sabil yang saya nilai fenomenal.
Melalui sumber-sumber bacaan yang tersedia, saya mengenal sosok Aldrich Bloomquist. Ia adalah ketua asosiasi petani gula bit di wilayah North Dakota dan Minnessota, Amerika Serikat. Pada tahun 1972, kondisi industri gula di wilayah itu terguncang akibat bangkrutnya American Crystal Sugar Company (ACSC). ACSC adalah salah satu perusahaan gula terbesar di AS pada masa itu. Perusahaan ini terdaftar di New York Stock Exchange. Bangkrutnya perusahaan ini mengancam kehidupan para petani gula bit di wilayah ini. Bloomquist berpikir keras untuk menjawab satu pertanyaan: ”Bagaimana menyelamatkan industri gula bit yang menjadi sumber kehidupan masyarakat di wilayah itu sejak lama?”. Ia mendiskusikannya dengan anggota-anggotanya. Akhirnya, sampai pada keputusan, karena tidak ada alternatif lain yang bisa menolong nasib masyarakat setempat, yang lebih baik daripada yang diberikan oleh industri gula, maka mereka memutuskan untuk membeli ACSC. Sebanyak 1.300 petani gula bit berkumpul, bersepakat dan akhirnya, dengan dibantu pihak lembaga keuangan, akhirnya 1.300 petani membeli pabrik gula tersebut dengan harga US$ 86 juta atau rata-rata per petani berpartisipasi US$ 66154. Segera setelah diambil alih, kondisi perusahaan berubah, bukan bangkrut tetapi berkembang pesat. Sekarang, pemilik perusahaan ini jumlahnya lebih dari 3.000 orang petani gula bit. Produksi gulanya 2 juta ton per tahun. Perusahaan ini juga telah berkembang pesat bukan hanya menghasilkan gula, tetapi juga menghasilkan produk turunan lainnya. Gagasan para petani bit ini kemudian melahirkan konsep yang dikenal dengan New Generation Cooperative. Universitas North Dakota memberikan penghargaan kepada Al Bloomquist, di universitas ini dilembagakan Al Bloomquist Lecture.
Saya membayangkan, apa yang terjadi di North Dakota terulang di Indonesia, salah satunya di Jawa Timur. Saya membayangkan kalau ada 10.000 petani berkumpul, kemudian masing-masing share Rp 100 juta (kurang lebih US$ 11000) maka akan terkumpul dana Rp 1.000.000.000.000. Dana ini digunakan untuk merevitalisasi satu atau dua pabrik gula, menjadi pabrik gula yang bagus, sesuai dengan standar yang semestinya. Lembaga perbankan mendukungnya, juga lembaga lembaga lainnya. Kalau ini dimulai sekarang, tahun 2005 dan prosesnya selesai 2006, maka kita sudah akan membangun landasan baru untuk menghadapi tantangan yang akan kita hadapi pada masa-masa mendatang. Kalau ini dikerjakan, mudah-mudahan pada tahun 2035 pendapatan per kapita masyarakat di Jawa Timur lebih baik daripada apa yang saya proyeksikan di atas. Harapan kita semua Arum Sabil beserta seluruh anggota APTRI segera dapat mengambil tantangan ini. Pada tahun 2035, kalau saya belum dipanggil ke Rahmatullah, saya akan berusia 79 tahun. Arum Sabil pada saat itu baru berusia 60 tahunan, masih muda. Kemudian kita bisa datang setiap tahun ke Universitas Negeri Jember atau Universitas Brawijaya, atau ke universitas lainnya, mendengarkan “Arum Sabil Lecture” yang disampaikan oleh para ilmuwan, tokoh, pemimpin bukan hanya yang datang dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Inilah makna dari revitalisasi yang harus segera kita mulai.
Impian di atas bukanlah hal yang tidak mungkin. Kita sudah berhasil melewati satu masa krisis pergulaan pada 1998-2000; sekarang tinggal apakah kita mampu melanjutkan inovasi baru dalam membangkitkan pergulaan ini. Kalau APTRI dapat menggalang segala potensi yang ada, semua impian di atas akan segera dapat menjadi kenyataan. Kalau ini bisa kita kerjakan maka kita bukan hanya telah memberikan manfaat bagi diri kita sendiri, tetapi juga buat generasi mendatang. Kita memerlukan organisasi dan pemimpin untuk mengerjakan dan mewujudkan impian itu. Semoga Arum Sabil dan APTRI secara keseluruhan dapat segera melakukan transformasi dan mampu merancang proses evolusi ke tahapan berikutnya.
Kita semua berharap, semoga Allah SWT selalu memberikan bimbingan, perlindungan dan penerangan kepada Arum Sabil, semua anggota APTRI dan juga kepada kita semua agar dapat segera mewujudkan masa depan yang lebih baik.
***